Mungkin ada yang masih asing dengan kota satu ini. Perkenalkan, namanya Kendari, Kota Kendari. Ini adalah kota di mana Tarian Lulo ditarikan, sagu diolah menjadi sinonggi dan kapurung, serta ubi dan jagung masih menjadi makanan pokok di beberapa daerah. Tulisan ini akan membahas sejarah singkat terbentuknya Kota Kendari. Silakan ki’ dibaca-baca…

Kalau ‘Jakarte punye cerite’, maka ‘Kendari punya juga cerita to…’

Kendari tidak mau kalah dong dengan kota-kota lainnya. Beda kota, beda sejarah. Kalau masih bingung atau samar-samar “Kendari itu di mana sih?” silakan buka atlas atau google map. Cari Pulau Sulawesi! Nah, di bagian kanan bawah adalah daerah Provinsi Sulawesi Tenggara. Jelas tertulis ibu kotanya adalah Kendari. Jadi tahu kan Kendari di mana? Ingat, Kendari itu berbeda loh dengan Kediri!

Walaupun saat ini Kendari adalah ibu kota Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra), namun pada awalnya Kendari hanyalah sebuah kabupaten. Pada tahun 1938, ibu kota Sultra adalah Bau-Bau. Bau-Bau berlokasi di Pulau Buton yang juga merupakan ibu kotanya hingga saat ini. Nanti pada tahun-tahun berikutnya, ibu kota akhirnya dipindahkan ke Kendari.

Asal mula nama Kota Kendari
Semua tahu dong asal nama Kota Surabaya? Ceritanya sudah sangat terkenal di mana-mana. Penasaran nama Kendari berasal dari mana?

Ternyata, asal nama Kendari berawal dari kesalahpahaman. Jadi begini ceritanya. Dulu, ada seseorang yang bertanya pada nelayan setempat, “Apa nama kampung ini?” Si nelayan menjawab, “Kandai.”

Usut punya usut, pendengaran si nelayan saat itu sedang kurang bersahabat. Ia mengira kalau orang itu menanyakan apa nama alat yang sedang dipegangnya. Memang saat itu si nelayan sedang memegang kandai. Kandai berasal dari bahasa Tolaki yang berarti alat dari bambu atau kayu yang dipergunakan untuk menolak/mendorong perahu di tempat yang airnya dangkal. Zaman sekarang istilah kandai lebih dikenal sebagai dayung. Tapi kandai dan dayung sesungguhnya berbeda. Kandai sudah ada jauh sebelum dayung ditemukan. Namun nelayan-nelayan saat ini lebih sering menggunakan perahu layar atau perahu mesin untuk melaut.

Akibat kesalahpahaman itu, atau lebih tepatnya ketidakpahaman itu, kampung tersebut disebut Kampung Kandai (Treffers, 1914). Walaupun sudah lama sekali, tapi kampung ini masih ada loh, namun namanya sudah berubah menjadi Kelurahan Kandai yang berada di bekas awal pusat Kota Kendari yang terletak di wilayah Kecamatan Kendari a.k.a. Kota Lama. Selanjutnya dalam berbagai literatur yang ada, nama Kandai berubah menjadi Kandari atau Kendari.

Vosmaer, seorang Belanda, pada tahun 1831 tiba di Kendari. Teluk yang sekarang terkenal dengan nama Teluk Kendari dulunya dikenal dengan sebutan Teluk Vosmaer. Tahu kan, bangsa Eropa sangat gemar memberi nama tempat penjelajahan mereka dengan nama mereka. Teluk Vosmaer dalam bahasa Belanda disebut Vosmaer’s Baai. Berakhirnya ekspedisi Vosmaer di Kendari juga mengakhiri nama Teluk Vosmaer, yang kemudian diganti menjadi Teluk Kendari.

Di sebelah utara Teluk Kendari, banyak bermukim orang Bajo dan Bugis/Makassar. Perlahan-lahan tapi pasti, dan memang pasti, pemukiman tersebut berkembang menjadi pusat kota yang selanjutnya dikenal dengan sebutan Kota Kendari.

Sebelum bercerita lebih jauh, siapa tahu ada yang mempertanyakan perihal orang Bajo dan Bugis/Makassar yang bermukim di Kendari. Admin mau jawab nih.. mimin baik kan, belum ditanya sudah menjawab.. hehe… Jadi, Sulawesi Tenggara dulunya masih merupakan bagian dari Provinsi Sulawesi yang beribukotakan di Ujung Pandang (Makassar). Namun penduduk yang tinggal di bagian Sulawesi Selatan dan Tenggara mendesak pemerintah untuk memisahkan diri. Berkat Peraturan Pemerintah tentang Pembentukan Daerah Otonom setingkat kabupaten, terbentuklah Provinsi Sulawesi Selatan Tenggara (Sulselra), yaitu Ujung Pandang, Bonthain, Bone, Pare-Pare, Mandar, Luwu, dan Sulawesi Tenggara. Selanjutnya Sultra kembali memisahkan diri sehingga berdiri sebagai satu provinsi seperti yang ada saat ini.

Kembali ke masalah Teluk Kendari. Masalahnya belum kelar-kelar kok….

Kota Dagang, Pelabuhan dan Pusat Kerajaan
Teluk Kendari selanjutnya berkembang menjadi pelabuhan transito bagi para pedang. Orang Bajo dan Bugis/Makassar menjadi saksi hidup sejarah kota ini. Selain mereka, juga terdapat suku asli Kendari, Suku Tolaki, yang bermukim di Abeli, Lepo-Lepo, dan Puwatu. Pada akhir abad ke-18, para pelayar Bajo dan Bugis mulai melakukan aktivitas perdagangan dengan Suku Tolaki. Mereka pun membangun pemukiman di sekitar Teluk Kendari pada awal abad ke-19. Barang-barang di pelabuhan di Teluk Kendari selanjutnya dikirim ke Makassar dan kawasan Barat Nusantara sampai ke Singapura dan Malaysia. Nah, nanti pada awal abad ke-20, etnis Buton, Muna, Torete, dan Tokapontori mulai bermunculan dan ikut bermukim di wilayah utara Teluk Kendari.

Nah, selain kota pelabuhan dan dagang, dulu Kendari juga terkenal sebagai kota pusat kerajaan. Raja yang berkuasa saat itu adalah Raja Ranomeeto yang bernama Lakina Laiwoi, di kerajaannya, Kerajaan Laiwoi. Menurut catatan Vosmaer (1839), istananya dibangun di sekitar Teluk Kendari pada awal abad ke-19 atau kira-kira tahun 1832. Kalau kita menarik benang merah, maka dapat disimpulkan bahwa Kota Kendari sudah berusia sangat tua, yaitu 175 tahun. WOW!

Inilah sedikit dari sejarah terbentuknya Kota Kendari. Namun sejarah Kendari tidak hanya berhenti sampai di sini. Terlalu banyak cerita jika hanya ingin mengungkapkan sejarah kota yang dijuluki ‘kota bertakwa’ ini. Dibutuhkan berlembar-lembar kertas untuk menuliskan keindahan sejarah kota ini. Eits, jangan salah, sebagai kota pusat kerajaan, Kendari juga tidak lepas dari peran para pahlawan-pahlawannya seperti Halu Oleo dan Lakilaponto. Nah, kalau membahas mereka lagi, maka sejarah Kendari tidak akan berhenti sampai di sini.

Karena sudah tahu, kita sebagai pemuda-pemudi harus melestarikan sejarah Kota Kendari. Mulailah bercerita tentang sejarah kota sendiri. Banggalah menjadi bagian dari Kota Kendari, karena ‘Kendari punya cerita ji juga…’

Sumber:
-          Sejarah Kota Kendari oleh Dr. H. Anwar Hafid, M.Pd. dan Drs. Misran Safar, M.Si.;
-                Sejarah dan Kebudayaan Daerah Sulawesi Tenggara oleh Drs. H. Jakub Silondae, Dr. La Niampe, dan Drs. Kaharuddin L.; dan
-        Sejarah Sulawesi Tenggara dan 40 Tahun Sultra Membangun oleh Prof. Dr. H. Rustam E. Tamburaka, M.A. et. al.